Para santri, alumni, nahdliyin dan ummat
Islam, setidaknya di Kabupaten Bojonegoro berduka. Salah satu kyai
sepuh, baik secara keilmuan dan ketokohan, telah kembali menghadap Sang
Kholiq. Ya, KH Masyhudi Hasan, pendiri dan pengasuh Ponpes Al Falah,
sebuah Pesantren yang berada di Jl Serma Abdullah 130 Desa Pacul
Kecamatan Bojonegoro itu kini telah tiada. Ia dipanggil untuk kembali
menghadap-Nya pada Rabu (30/6/2010) pukul 13.15 WIB lalu. Data yang
diperoleh penulis, almarhum mangkat karena penyakit sesak yang beberapa
tahun terakhir ini menderanya.
Sebagai orang yang hampir 8 tahun
ngadam alias nyantri dan mengabdi di pesantrennya, tentu sedikit banyak
penulis tahu tentang sosok ini. KH Masyhudi Hasan, adalah sosok tegas
dan disiplin, beberapa pihak yang tak banyak mengenalnya, mungkin
menyebutnya keras. Begitulah, apalagi jika ditilik dari penampilan
fisik, kyai satu ini memang trengginas, bicaranya ceplas ceplos, tatapan
kedua matanya juga sangat tajam.
Lalu apa yang perlu dikenang dan
diteladani dari sosok yang pernah ikut ambil bagian dalam proses babat
alas berdirinya NU di Bojonegoro dan beberapa periode menjadi pengurus
MUI ini ?. Idealisme keilmuan, barang kali itulah kalimat sederhana yang
bisa penulis gambarkan untuk segudang kenangan dan teladan dari
almarhum. Seperti dipahami, al ‘ulamau warotsatul anbiya, ulama adalah
pewaris para nabi. Untuk melanjutkan perjuangan tercapainya ajaran Islam
yang sempurna, rohmatan lil ‘alamin. KH Masyhudi Hasan, dalam kaca mata
penulis, memenuhi syarat untuk disebut warotsatul anbiya, dan ketika
seorang ulama meninggal, bukankah itu berarti satu ilmu Allah telah
diangkat kembali ke sisi-Nya, bumi telah kehilangan satu ilmunya.
Idealisme Keilmuan
Dalam
khazanah keilmuan Islam dikenal istilah sanad muttasil (urutan yang
tersambung), ini terutama harus berlaku untuk jenis keilmuan (yang
mendalam dan tuntas) misalnya; untuk ilmu nahwu, shorof, hadits, tafsir,
tajwid, mantiq, ma’ani, balaghoh, tasawuf, falaq, dan lain-lain
tentunya, masih sangat banyak fan ilmu yang memang tak sembarangan orang
bisa mendapat, pinjam istilah KH Masyhudi Hasan, rebues alias ijazah
untuk mengamalkannya, mengajarkannya kepada orang lain, dalam konteks
keilmuan Islam, sekali lagi dalam konteks keilmuan Islam, secara sah.
Seseorang harus punya rebues alias ijazah dari guru tempat dia belajar
dan itu tersambung secara terus menerus sampai ke pengarang kitab, atau
rowi (periwayat) pertama kalau itu ilmu hadits, tak boleh putus satupun.
Hal ini tentu sangat berbeda dengan khazanah ilmu kanuragan, yang tak
harus sanad muttasil, seseorang bisa memperoleh secara sempurna apa yang
diinginkan dengan cukup berguru kepada seorang guru yang menguasai ilmu
tertentu.
KH Masyhudi Hasan (ternyata), adalah salah satu kyai
yang memiliki sanad muttasil dalam setiap fan ilmu yang dikuasainya.
Jujur saja, penulis tahu fakta ini juga karena tindakan nekat yang
penulis lakukan demi menuntaskan rasa penasaran yang terpendam
bertahun-tahun. Selama 7 tahun meguru di Al Falah, saya benar-benar
tidak berani, meski sekedar ngrasani. Ceritanya begini, dalam setiap
mbalah kitab, KH Masyhudi seperti selalu punya kunci untuk mengungkap
setiap harokat, huruf, kalimat, dan kedudukan kalimat, yang musykil
(sulit diartikan, baik secara harfiyah maupun maknawiyah), termasuk
ketika dalam sebuah kitab terjadi salah cetak dalam susunan kalimatnya.
Pertanyaan dalam hati saya ketika itu, kenapa bisa tahu ?.
Untuk
tafsir Al Qur’an, Kyai Masyhudi istiqomah mengajarkan Tafsir Jalalain,
sebuah kitab tafsir hasil karya Jalal bersaudara itu. Yang masih selalu
saya ingat, ketika tafsir Al Qur’an yang diajarkan, kyai selalu bilang
Qoolallahu ta’ala, wallahu asdaqul qooilin. Ada apa dengan kalimat itu,
ketika ada yang musykil, kalimat itu dibaca berulang-berulang, dan tak
lama kemudian, kemusykilan itu ditemukan. Sementara, untuk kitab
lainnya, karangan ulama salaf, kata kunci yang diucapkan adalah Qoolal
mushonnifu rohimahullahu ta’ala, nafa’ana bihi, wabi’ulumihi, wa
amaddana bi asrorihi wa a’aada ‘alaina bibarokatihi fiddaroini. Amin.
Ada apa pula dengan kalimat ini ?. Dalam sedikit kesempatan, kyai kadang
lantas mengirimi fatihah mushonnif (pengarang kitab), setelah itu
terdengar suara brak brak brak, 3 kali, telapak tangan kyai memukul
dampar (meja), dan kalimat musykilpun terjawab. Mungkin ini tak banyak
mendapat perhatian dari santrinya, tapi ini yang benar-benar membuat
saya memendam pertanyaan dalam dari tahun 1992 sampai dengan 1999, tahun
dimana saya bermuqim di pondok itu.
Baru pada tahun 2005, saya
benar-benar nekat. Saya menghadapnya secara sendiri, seperti biasa, kami
lantas berbincang tentang banyak hal. Saat itu saya masih menjadi
wartawan salah satu Koran harian terbitan Surabaya, disitu naluri
kewartawanan saya muncul, lagi pula, kalau misalnya pertanyaan saya
membuat kyai tidak berkenan dan marah, ya, saya anggap wajar. Prinsip
saya ketika itu, santri dimarahi kyai itu ‘kan biasa. Bertanyalah saya
tentang perihal yang saya ceritakan di atas. “Bagaimana bisa begitu kyai
?,” kataku. Lama saya tidak mendapat jawaban, kecuali hanya tersenyum.
Setelah itu, berceritalah kyai Masyhudi perihal sanad muttasil itu.
Diceritakannya,
untuk ilmu nahwu dan shorof misalnya, kyai Masyhudi menuntaskan ilmu
ini kepada Kyai Abu Dzarrin (pendiri Ponpes Abu Dzarrin, Kendal Dander),
selain beberapa kitab lain, saya lupa, dia menyebutkannya satu persatu.
“Ilmu nahwu dan shorof adalah pokok dari seluruh ilmu, shorof itu ibu,
nahwu itu bapaknya ilmu,” katanya kala itu sembari menyitir sebuah
maqolah. Setelah itu kyai Masyhudi mondok di Lasem, Rembang, kepada Kyai
Masduqi. Cukup lama Kyai Masyhudi mondok di tempat ini, tak hanya
kitab-kitab kecil, Kyai Masyhudi hingga menuntaskan kitab-kitab besar
seperti syarkhul hikam, ihya ulumuddin, uqudul juman, juga jam’ul
jawami’. Selanjutnya, untuk mendapat ijazah dari setiap kitab, kata Kyai
Masyhudi, ia diperkenankan Kyainya (Kyai Masduqi) untuk berkeliling ke
pesantren-pesantren yang ada di tanah Jawa. “Karena dawuh Kyai Masduqi
itu, saya akhirnya keliling dari pondok ke pondok untuk mendapat ijazah
dari Kyai yang ditunjuk oleh Kyai Masduqi,” ujarnya dalam bahasa jawa
sembari menyebut satu persatu pesantren yang pernah disinggahinya. “Saya
kemana-mana biasanya naik kereta api, saya pakai koper ini, ini koper
kenangan,” lanjutnya setelah sesaat masuk rumah dan mengambil sebuah
koper yang terbuat dari bahan semacam seng bercampur kulit dan
ditunjukkan kepada penulis, memegangi koper butut itu, mata Kyai
Masyhudi sempat berkaca-kaca.
Dari sini, kemudian saya bisa
menyimpulkan kenapa dalam konteks keilmuan, Kyai Masyhudi begitu
idealis. Tak jarang, pada kitab tertentu, Kyai ini berani mengkritik
moshonnifnya, menjelaskan kekurangan sekaligus kelebihan isi kitab
tertentu dan membandingkan kitab dengan pembahasan yang sama yang
dikarang oleh mushonnif lain. Kyai Masyhudi juga banyak hafal riwayat
dan biografi para pengarang kitab, kitab apa saja yang dikarang dan
bahkan kader dan murid-muridnya. Tak hanya itu, ada beberapa kitab
tertentu Kyai Masyhudi tak mau mengajarkannya kepada santri Al Falah,
karena tidak cocok dengan prinsipnya, heran saya, hal itu didasari dalil
yang masuk akal, bahkan ilmiyah secara keilmuan.
Kyai Masyhudi
dalam kesempatan tersebut juga mengaku belum menurunkan ilmunya, dalam
konteks ijazah dan sanad muttasil, kepada seluruh santri Al Falah.
Pengajaran yang dilakukan, hingga pada tahun tersebut, baru pengajaran
biasa dan pada umumnya seorang guru mengajar muridnya, atau seorang kyai
mengajar santrinya. “Yo mungkin durung kang, engko nek wes ono santri
seng iso memenuhi persyaratane,” kata Kyai Masyhudi sembari menyebutkan
sederet persyaratan keilmuan yang harus dipenuhi bagi seseorang yang
bisa mendapatkan ijazah sanad muttasil.
Dari sini, saya bisa
banyak belajar mengapa Kyai Masyhudi senantiasa tegas dalam banyak
masalah social dan keagamaan. Jangan heran jika seseorang salah
menempatkan kalimat saja, Kyai Masyhudi langsung angkat bicara,
mengkritik. Ketika santrinya sedang sambutan atau pidato, dan menyitir
sebuah hadits, menyebut rowahu saja, benar-benar dilarang. “Kathik mbok
ke’i rowahu Bukhori Wamuslim, awakmu kapan ketemu Bukhori karo Muslim.
Al hadits au kamaa qoola, ngono lakyo wes cukup,” sarannya. Maksud kyai,
siapapun diminta hati-hati, menghargai ilmu, jika tidak memilik sanad
muttasil, janganlah mencatut nama perowi seenaknya.
Masih banyak
contoh lain yang dikritisi, misalnya soal mau’idhoh hasanah, kyai jarang
mau menggunakan kalimat ini, sebab kalimat ini berlaku ketentuan dan
syarat. Assalam qoblal kalam, juga menjadi prinsip. Kemudian mengucapkan
kalimat ‘Menurut pendapat saya’ itu menurut kyai juga harus dihindari
dalam hal keilmuan. “Wong kepet kok melok-melok nduwe pendapat,”
bentaknya kepada seorang santri. Maksud kyai, yang boleh memiliki
pendapat dalam konteks pengambilan hukum, hanyalah mujtahid mutlaq,
yaitu imam 4, Syafi’i, Hanafi, Hambali, dan Maliki, atau yang terkenal
dengan istilah mahadzibul arba’ah. Jika ingin mengemukakan pendapat,
cukuplah mengatakan ma’khodz (literatur)-nya.
Tak hanya itu,
kepada para santrinya, Kyai Masyhudi juga menekankan metode rasionalitas
dalam menuntut ilmu. Ada sedikit cerita saat penulis bermaksud minta
doa restu saat hendak menjalani tes di kampus. Saya bilang, “Kyai, mohon
doa restunya, saya besuk ujian Kyai !,” kata saya ketika itu dalam
bahasa jawa halus. Apa jawab Kyai Masyhudi, alih-alih dapat restu, saya
malah dibentak. “Sejak kapan kamu menganggap saya dukun, apa kamu belum
memahami ta’lim (kitab ta’limul muta’alim) yang saya ajarkan setiap hari
itu,” sahutnya dengan nada tinggi. “Barangsiapa ingin kenyang tanpa
makan, ingin kaya tanpa bekerja, dan ingin pandai tanpa belajar,
waljununu fununu (orang stress memang macam-macam bentuknya). Ingat
syairnya nggak kamu !?,” tukasnya bertanya.
Dalam kesempatan
tersebut, kepada saya, Kyai Masyhudi juga mengatakan, seorang santri,
jika sudah keluar dari Pondok, setidaknya harus menempel dalam dirinya 1
dari 3 perkara. Pertama alim (pandai); kedua kaya; dan ketiga jaduk
(sakti). “Nek wes oleh siji, insyaAllah liyane katut, sebab Gusti Allah
nyediakno karomah. Nek ora telu-telune, berarti kowe wala syaia (bukan
apa-apa),” tuturnya. Kyai Masyhudi kemudian juga menerangkan tentang 3
perkara itu, cara memperolehnya, dan implementasinya. Setelah selesai,
saya pamit sambil menekuk muka, menahan malu.
Bisa jadi, masih
banyak kyai yang memiliki sanad muttasil seperti Kyai Masyhudi, karena
itu, para santri, yang mengetahui hal ini, haruslah benar-benar serius,
agar Anda menjadi salah satu dari penerus keilmuan Islam yang mendapat
julukan dan tempat luar biasa. Anda belajar untuk dipersiapkan menjadi
agamawan, bukan hanya agamis, apalagi hanya sok agamis.
Kini, Kyai
Masyhudi telah tiada, ia benar-benar menjadi contoh, menjadi kaca
benggala, terutama buat santri di pondok-pondok pesantren, dan
murid-murid di lembaga pendidikan. Kyai Masyhudi, telah memilih jalan
hidupnya, menafkahkan jiwa dan raganya, untuk ilmu. Keilmuan yang
sempurna !. Selamat jalan kyai, kau pasti punya kader dan penerus untuk
melanjutkan perjuanganmu !.
*)- Alumni Ponpes Al Falah/ DPRD Bojonegoro 2015
- Tulisan ini, telah dimuat di Koran Radar Bojonegoro edisi Ahad (4/7) di kolom opini halaman 30.
Didedikasikan untuk seluruh keluarga besar Al Falah, santri, alumni dan kita semua.
Sumber : http://4lfalah.wordpress.com/2010/07/06/in-memorian-kh-masyhudi-hasan/
0 komentar:
Posting Komentar