SELAMAT DATANG DI BLOG PIMPINAN CABANG IKATAN SENI HADRAH INDONESIA KABUPATEN BOJONEGORO

Pages

Tampilkan postingan dengan label Home. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Home. Tampilkan semua postingan

Rabu, 18 Maret 2015

KH Masyhudi Hasan Ilmuwan Idealis Itu Adalah Kaca Benggala

yaiQOleh : Ahmad Sunjani Zaid *)
Para santri, alumni, nahdliyin dan ummat Islam, setidaknya di Kabupaten Bojonegoro berduka. Salah satu kyai sepuh, baik secara keilmuan dan ketokohan, telah kembali menghadap Sang Kholiq. Ya, KH Masyhudi Hasan, pendiri dan pengasuh Ponpes Al Falah, sebuah Pesantren yang berada di Jl Serma Abdullah 130 Desa Pacul Kecamatan Bojonegoro itu kini telah tiada. Ia dipanggil untuk kembali menghadap-Nya pada Rabu (30/6/2010) pukul 13.15 WIB lalu. Data yang diperoleh penulis, almarhum mangkat karena penyakit sesak yang beberapa tahun terakhir ini menderanya.
Sebagai orang yang hampir 8 tahun ngadam alias nyantri dan mengabdi di pesantrennya, tentu sedikit banyak penulis tahu tentang sosok ini. KH Masyhudi Hasan, adalah sosok tegas dan disiplin, beberapa pihak yang tak banyak mengenalnya, mungkin menyebutnya keras. Begitulah, apalagi jika ditilik dari penampilan fisik, kyai satu ini memang trengginas, bicaranya ceplas ceplos, tatapan kedua matanya juga sangat tajam.
Lalu apa yang perlu dikenang dan diteladani dari sosok yang pernah ikut ambil bagian dalam proses babat alas berdirinya NU di Bojonegoro dan beberapa periode menjadi pengurus MUI ini ?. Idealisme keilmuan, barang kali itulah kalimat sederhana yang bisa penulis gambarkan untuk segudang kenangan dan teladan dari almarhum. Seperti dipahami, al ‘ulamau warotsatul anbiya, ulama adalah pewaris para nabi. Untuk melanjutkan perjuangan tercapainya ajaran Islam yang sempurna, rohmatan lil ‘alamin. KH Masyhudi Hasan, dalam kaca mata penulis, memenuhi syarat untuk disebut warotsatul anbiya, dan ketika seorang ulama meninggal, bukankah itu berarti satu ilmu Allah telah diangkat kembali ke sisi-Nya, bumi telah kehilangan satu ilmunya.
Idealisme Keilmuan
Dalam khazanah keilmuan Islam dikenal istilah sanad muttasil (urutan yang tersambung), ini terutama harus berlaku untuk jenis keilmuan (yang mendalam dan tuntas) misalnya; untuk ilmu nahwu, shorof, hadits, tafsir, tajwid, mantiq, ma’ani, balaghoh, tasawuf, falaq, dan lain-lain tentunya, masih sangat banyak fan ilmu yang memang tak sembarangan orang bisa mendapat, pinjam istilah KH Masyhudi Hasan, rebues alias ijazah untuk mengamalkannya, mengajarkannya kepada orang lain, dalam konteks keilmuan Islam, sekali lagi dalam konteks keilmuan Islam, secara sah. Seseorang harus punya rebues alias ijazah dari guru tempat dia belajar dan itu tersambung secara terus menerus sampai ke pengarang kitab, atau rowi (periwayat) pertama kalau itu ilmu hadits, tak boleh putus satupun. Hal ini tentu sangat berbeda dengan khazanah ilmu kanuragan, yang tak harus sanad muttasil, seseorang bisa memperoleh secara sempurna apa yang diinginkan dengan cukup berguru kepada seorang guru yang menguasai ilmu tertentu.
KH Masyhudi Hasan (ternyata), adalah salah satu kyai yang memiliki sanad muttasil dalam setiap fan ilmu yang dikuasainya. Jujur saja, penulis tahu fakta ini juga karena tindakan nekat yang penulis lakukan demi menuntaskan rasa penasaran yang terpendam bertahun-tahun. Selama 7 tahun meguru di Al Falah, saya benar-benar tidak berani, meski sekedar ngrasani. Ceritanya begini, dalam setiap mbalah kitab, KH Masyhudi seperti selalu punya kunci untuk mengungkap setiap harokat, huruf, kalimat, dan kedudukan kalimat, yang musykil (sulit diartikan, baik secara harfiyah maupun maknawiyah), termasuk ketika dalam sebuah kitab terjadi salah cetak dalam susunan kalimatnya. Pertanyaan dalam hati saya ketika itu, kenapa bisa tahu ?.
Untuk tafsir Al Qur’an, Kyai Masyhudi istiqomah mengajarkan Tafsir Jalalain, sebuah kitab tafsir hasil karya Jalal bersaudara itu. Yang masih selalu saya ingat, ketika tafsir Al Qur’an yang diajarkan, kyai selalu bilang Qoolallahu ta’ala, wallahu asdaqul qooilin. Ada apa dengan kalimat itu, ketika ada yang musykil, kalimat itu dibaca berulang-berulang, dan tak lama kemudian, kemusykilan itu ditemukan. Sementara, untuk kitab lainnya, karangan ulama salaf, kata kunci yang diucapkan adalah Qoolal mushonnifu rohimahullahu ta’ala, nafa’ana bihi, wabi’ulumihi, wa amaddana bi asrorihi wa a’aada ‘alaina bibarokatihi fiddaroini. Amin. Ada apa pula dengan kalimat ini ?. Dalam sedikit kesempatan, kyai kadang lantas mengirimi fatihah mushonnif (pengarang kitab), setelah itu terdengar suara brak brak brak, 3 kali, telapak tangan kyai memukul dampar (meja), dan kalimat musykilpun terjawab. Mungkin ini tak banyak mendapat perhatian dari santrinya, tapi ini yang benar-benar membuat saya memendam pertanyaan dalam dari tahun 1992 sampai dengan 1999, tahun dimana saya bermuqim di pondok itu.
Baru pada tahun 2005, saya benar-benar nekat. Saya menghadapnya secara sendiri, seperti biasa, kami lantas berbincang tentang banyak hal. Saat itu saya masih menjadi wartawan salah satu Koran harian terbitan Surabaya, disitu naluri kewartawanan saya muncul, lagi pula, kalau misalnya pertanyaan saya membuat kyai tidak berkenan dan marah, ya, saya anggap wajar. Prinsip saya ketika itu, santri dimarahi kyai itu ‘kan biasa. Bertanyalah saya tentang perihal yang saya ceritakan di atas. “Bagaimana bisa begitu kyai ?,” kataku. Lama saya tidak mendapat jawaban, kecuali hanya tersenyum. Setelah itu, berceritalah kyai Masyhudi perihal sanad muttasil itu.
Diceritakannya, untuk ilmu nahwu dan shorof misalnya, kyai Masyhudi menuntaskan ilmu ini kepada Kyai Abu Dzarrin (pendiri Ponpes Abu Dzarrin, Kendal Dander), selain beberapa kitab lain, saya lupa, dia menyebutkannya satu persatu. “Ilmu nahwu dan shorof adalah pokok dari seluruh ilmu, shorof itu ibu, nahwu itu bapaknya ilmu,” katanya kala itu sembari menyitir sebuah maqolah. Setelah itu kyai Masyhudi mondok di Lasem, Rembang, kepada Kyai Masduqi. Cukup lama Kyai Masyhudi mondok di tempat ini, tak hanya kitab-kitab kecil, Kyai Masyhudi hingga menuntaskan kitab-kitab besar seperti syarkhul hikam, ihya ulumuddin, uqudul juman, juga jam’ul jawami’. Selanjutnya, untuk mendapat ijazah dari setiap kitab, kata Kyai Masyhudi, ia diperkenankan Kyainya (Kyai Masduqi) untuk berkeliling ke pesantren-pesantren yang ada di tanah Jawa. “Karena dawuh Kyai Masduqi itu, saya akhirnya keliling dari pondok ke pondok untuk mendapat ijazah dari Kyai yang ditunjuk oleh Kyai Masduqi,” ujarnya dalam bahasa jawa sembari menyebut satu persatu pesantren yang pernah disinggahinya. “Saya kemana-mana biasanya naik kereta api, saya pakai koper ini, ini koper kenangan,” lanjutnya setelah sesaat masuk rumah dan mengambil sebuah koper yang terbuat dari bahan semacam seng bercampur kulit dan ditunjukkan kepada penulis, memegangi koper butut itu, mata Kyai Masyhudi sempat berkaca-kaca.
Dari sini, kemudian saya bisa menyimpulkan kenapa dalam konteks keilmuan, Kyai Masyhudi begitu idealis. Tak jarang, pada kitab tertentu, Kyai ini berani mengkritik moshonnifnya, menjelaskan kekurangan sekaligus kelebihan isi kitab tertentu dan membandingkan kitab dengan pembahasan yang sama yang dikarang oleh mushonnif lain. Kyai Masyhudi juga banyak hafal riwayat dan biografi para pengarang kitab, kitab apa saja yang dikarang dan bahkan kader dan murid-muridnya. Tak hanya itu, ada beberapa kitab tertentu Kyai Masyhudi tak mau mengajarkannya kepada santri Al Falah, karena tidak cocok dengan prinsipnya, heran saya, hal itu didasari dalil yang masuk akal, bahkan ilmiyah secara keilmuan.
Kyai Masyhudi dalam kesempatan tersebut juga mengaku belum menurunkan ilmunya, dalam konteks ijazah dan sanad muttasil, kepada seluruh santri Al Falah. Pengajaran yang dilakukan, hingga pada tahun tersebut, baru pengajaran biasa dan pada umumnya seorang guru mengajar muridnya, atau seorang kyai mengajar santrinya. “Yo mungkin durung kang, engko nek wes ono santri seng iso memenuhi persyaratane,” kata Kyai Masyhudi sembari menyebutkan sederet persyaratan keilmuan yang harus dipenuhi bagi seseorang yang bisa mendapatkan ijazah sanad muttasil.
Dari sini, saya bisa banyak belajar mengapa Kyai Masyhudi senantiasa tegas dalam banyak masalah social dan keagamaan. Jangan heran jika seseorang salah menempatkan kalimat saja, Kyai Masyhudi langsung angkat bicara, mengkritik. Ketika santrinya sedang sambutan atau pidato, dan menyitir sebuah hadits, menyebut rowahu saja, benar-benar dilarang. “Kathik mbok ke’i rowahu Bukhori Wamuslim, awakmu kapan ketemu Bukhori karo Muslim. Al hadits au kamaa qoola, ngono lakyo wes cukup,” sarannya. Maksud kyai, siapapun diminta hati-hati, menghargai ilmu, jika tidak memilik sanad muttasil, janganlah mencatut nama perowi seenaknya.
Masih banyak contoh lain yang dikritisi, misalnya soal mau’idhoh hasanah, kyai jarang mau menggunakan kalimat ini, sebab kalimat ini berlaku ketentuan dan syarat. Assalam qoblal kalam, juga menjadi prinsip. Kemudian mengucapkan kalimat ‘Menurut pendapat saya’ itu menurut kyai juga harus dihindari dalam hal keilmuan. “Wong kepet kok melok-melok nduwe pendapat,” bentaknya kepada seorang santri. Maksud kyai, yang boleh memiliki pendapat dalam konteks pengambilan hukum, hanyalah mujtahid mutlaq, yaitu imam 4, Syafi’i, Hanafi, Hambali, dan Maliki, atau yang terkenal dengan istilah mahadzibul arba’ah. Jika ingin mengemukakan pendapat, cukuplah mengatakan ma’khodz (literatur)-nya.
Tak hanya itu, kepada para santrinya, Kyai Masyhudi juga menekankan metode rasionalitas dalam menuntut ilmu. Ada sedikit cerita saat penulis bermaksud minta doa restu saat hendak menjalani tes di kampus. Saya bilang, “Kyai, mohon doa restunya, saya besuk ujian Kyai !,” kata saya ketika itu dalam bahasa jawa halus. Apa jawab Kyai Masyhudi, alih-alih dapat restu, saya malah dibentak. “Sejak kapan kamu menganggap saya dukun, apa kamu belum memahami ta’lim (kitab ta’limul muta’alim) yang saya ajarkan setiap hari itu,” sahutnya dengan nada tinggi. “Barangsiapa ingin kenyang tanpa makan, ingin kaya tanpa bekerja, dan ingin pandai tanpa belajar, waljununu fununu (orang stress memang macam-macam bentuknya). Ingat syairnya nggak kamu !?,” tukasnya bertanya.
Dalam kesempatan tersebut, kepada saya, Kyai Masyhudi juga mengatakan, seorang santri, jika sudah keluar dari Pondok, setidaknya harus menempel dalam dirinya 1 dari 3 perkara. Pertama alim (pandai); kedua kaya; dan ketiga jaduk (sakti). “Nek wes oleh siji, insyaAllah liyane katut, sebab Gusti Allah nyediakno karomah. Nek ora telu-telune, berarti kowe wala syaia (bukan apa-apa),” tuturnya. Kyai Masyhudi kemudian juga menerangkan tentang 3 perkara itu, cara memperolehnya, dan implementasinya. Setelah selesai, saya pamit sambil menekuk muka, menahan malu.
Bisa jadi, masih banyak kyai yang memiliki sanad muttasil seperti Kyai Masyhudi, karena itu, para santri, yang mengetahui hal ini, haruslah benar-benar serius, agar Anda menjadi salah satu dari penerus keilmuan Islam yang mendapat julukan dan tempat luar biasa. Anda belajar untuk dipersiapkan menjadi agamawan, bukan hanya agamis, apalagi hanya sok agamis.
Kini, Kyai Masyhudi telah tiada, ia benar-benar menjadi contoh, menjadi kaca benggala, terutama buat santri di pondok-pondok pesantren, dan murid-murid di lembaga pendidikan. Kyai Masyhudi, telah memilih jalan hidupnya, menafkahkan jiwa dan raganya, untuk ilmu. Keilmuan yang sempurna !. Selamat jalan kyai, kau pasti punya kader dan penerus untuk melanjutkan perjuanganmu !.
*)
- Alumni Ponpes Al Falah/ DPRD Bojonegoro 2015
- Tulisan ini, telah dimuat di Koran Radar Bojonegoro edisi Ahad (4/7) di kolom opini halaman 30.
Didedikasikan untuk seluruh keluarga besar Al Falah, santri, alumni dan kita semua.
Sumber : http://4lfalah.wordpress.com/2010/07/06/in-memorian-kh-masyhudi-hasan/

Senin, 26 Januari 2015

MUQODIMAH


MUQODIMAH.

ISHARI merupakan Organisasi social keagamaan yang menjalankan Thoriqoh atau amalan Mahabbah kepada Nabi Muhammad SAW yang bermuasal dari kumpulan (Jam’iyah) pembacaan kitab maulid Syaroful anam karangan As Syekh Ibnu Jauzii atau Al Imam Ibnu Qosim Al hariri yang diiringi tabuhan  rebana hadrah dengan tambahan bacaan Sholawat yang berfungsi sebagai jawaban yang saling bersahutan dengan disertai gerakan roddad dan lantunan Syair yang telah ditentukan oleh para pendiri Jam’iyyah ini. Bahkan tatacara pelaksanaan tersebut menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bisa diubah kecuali oleh para Guru Mursyid,(dalam ISHARI dikenal dengan sebutan Guru Hadi / Badal Hadi) melalui mekanisme Bimbingan, hal ini dilaksanakan agar amaliyah dzikir dan Sholawat yang dilantunkan tetap otentik dan memiliki sanad atau sambungan dari Pewaris Agama Islam (para Ulama) sampai dengan kepada pembawa Agama Islam ini yaitu baginda Nabi Muhammad SAW.
Demi melestarikan keberlangsungan jamiyah ini, maka para ulama NU setelah mendapat restu dari Guru Hadi Dzurriyah para pendiri jami’yyah hadrah pada tahun 1959 tepatnya pada tanggal 23 Januari 1959 M. atau bertepatan dengan tanggal 15 Rojab 1378 H. mendeklarasikan ISHARI sebagai wadah Jam’iyyah Hadrah ini bertempat di Pasuruan dan menjadikannya sebagai salah satu organisasi didalam pembinaan Syuriah NU setelah ditetapkan di Muktamar NU ke 23 di Solo Tahun 1962 (lihat AD/ART NU hasil muktamar ke 23 Solo). Dan seiring berjalannya masa, keberadaan Organisasi ini tetap dalam pembinaan lembaga tersebut sampai dengan ditetapkannya ISHARI sebagai salah satu Badan Otonom Nahdlatul Ulama pada Muktamar NU  ke 29 tahun 1994 di Cipasung Jawa Barat (baca AD/ART NU hasil muktamar ke 28 Cipasung), oleh karena setiap BANOM NU harus memiliki peratuaran dan struktur tersendiri. dan sebagai respon menyikapi keputusan NU itu, maka pada Tahun 1995 ISHARI melaksanakan MUNAS untuk yang pertamakalinya di Kabupaten Lamongan sehingga dihasilkanlah PD/PRT ISHARI serta terbentuknya Pimpinan pusat ISHARI yang bermarkas di Surabaya dan Al-hamdulillah hal tersebut adalah merupakan MUNAS yang pertama kali.
Dikarenakan keterbatasan dibidang pengembangan organisasi serta lemahnya kordinasi antar konsitusi  maka keberadaan ISHARI tidak menjadi berkembang dan hanya tumbuh subur di wilayah Jawa Timur sehingga (Menurut pendapat Pimpinan di struktur NU), ISHARI tidak memenuhi syarat sebagai salah satu Badan Otonom di NU, sehingga pada Muktamar NU ke 30 tahun 1999 di Lirboyo Kediri Jawa Timur, ISHARI  di masukkan dalam salah satu pembinaan LSB (Lembaga seni Budaya NU). (lihat AD/ART NU Hasil Muktamar NU ke 30 Lirboyo kediri). Ironi memang disatu sisi ISHARI pada saat mulai menata dengan adanya keputusan MUNAS ISHARI disisi lain sebagai induk Organisasi justru NU menempatkan Posisi ISHARI menjadi satu dengan kesenian-kesenian lain baik dibawah pembinaan LSB NU, dengan demikian (Menurut sudut Pandang Pimpinan NU) maka semua Hasil MUNAS ISHARI Tahun 1995 termasuk didalamnya PD/PRT ISHARI dan Pimpinan Pusat sudah gugur demi hukum dan dianulir oleh Keputusan Muktamar NU Lirboyo.
Dan atas upaya serta usulan Pimpinan ISHARI Wilayah jawa Timur kepada NU yang memandang tidak relevan apabila ISHARI berada dibawah pembinaan LSB NU karena ISHARI adalah bukan hanya sekedar kumpulan seni tapi merupakan perpaduan antara seni dengan Ubudiyyah, maka hal tersebut direspon positif oleh NU pada Muktamar NU ke 31 tahun 2004 di Boyolali dengan memasukkan ISHARI dalam pembinaan Lembaga Ahlit Thoriqoh Al-Mu’tabaroh An nahdiyyah (Lihat AD/ART NU hasil Muktamar ke 30 Boyolali). Namun lagi-lagi ironi bagi ISHARI karena perubahan tersebut tidak tersosialisasi dengan baik dan bahkan tidak ada juklak juknis yang termaktub bagaimana mengatur pola hubungan antara ISHARI dan Thoriqoh, baik itu di Organisasi NU maupun di Thoriqoh. Ketidak pastian hubungan dan pola pengaturan antara ISHARI dan Thoriqoh itu terus berlanjut sampai sekarang, dan bahkan pada Muktamar NU ke 32 tahun 2009 di Makassar justru tidak muncul kalimat pembinaan Thoriqoh kepada ISHARI (Lihat AD/ART NU ke 32 makasar) sebagaimana termaktub jelas dalam AD/ART NU hasil Muktamar Boyolali. Kalau dicermati dengan seksama ada dua perubahan mendasar terhadap posisi Thoriqoh didalam Organisasi NU
1.      Pada hasil Muktamar NU ke 31 tahun 2004 di Boyolali, Posisi Thoriqoh adalah Lembaga sedangkan di Muktamar NU ke 32 tahun 2009 di Makassar posisi Thoriqoh menjadi BANOM.
2.      Pada hasil Muktamar NU ke 31 tahun 2004 pada fungsi dan tugasnya Thoriqoh termasuk juga membina ISHARI sedangkan pada Hasil Muktamar NU ke 32 di Makasar tidak lagi termaktub bahwa Thoriqoh adalah pembina ISHARI.
Kesimpulan
1.      Kalau keputusan perubahan dalam muktamar NU itu menganulir keputusan Muktamar sebelumya sebagaimana keputusan di Lirboyo menganulir keputusan di Cipasung. maka dengan demikian sudah tidak ada kejelasan hubungan secara organisasi antara NU dengan ISHARI juga dengan Thoriqoh karena sudah dianulir oleh Hasil Keputusan Muktamar NU ke 32 di Makasar dan tidak adanya hubungan ke organisasian ini lebih diperkuat lagi dengan Hasil keputusan Muktamar ke XI Jam’iyyah Ahlit Thoriqoh Al Mu’tabaroh An Nahdliyyah tahun 2012 di PP Al Munawwariyyah Malang dimana ISHARI tidak tertulis sebagai salah satu Lajnah di Organisasi tersebut ( Lihat PD/PRT hasil Keputusan Muktamar Thoriqoh Tahun 2012 di Malang terbitan Gedung Kanzus Sholawat Pekalongan).
2.      Memang ada interpretasi bahwa tidak termaktubnya kalimat “ termasuk juga ISHARI “ pada tugas dan Fungsi Jam’iyyah Alit Thoriqoh al Mu’tabaroh  An Nahdliyyah hasil keputusan Muktamar NU Makassar karena memang sudah in claude pada hasil Muktamar NU  Boyolali sehingga ISHARI tetap dalam Pembinaan Thoriqoh, akan tetapi hal tersebut menjadi kabur karena ternyata tidak terdapat juklak  juknis pengaturan dari Jam’iyyah Thoriqoh terhadap ISHARI yang tentunya dalam perumusannya  harus melibatkan Pimpinan ISHARI,
3.      Sehingga hubungan NU dengan ISHARI yang ada saat ini (sebelum adanya penjelasan yang pasti) menurut interpretasi kita (warga ISHARI) adalah hubungan emosional kultur dimana Organisasi ISHARI didirikan dan digagas Oleh Para pendiri dan ulama NU atas restu dari para Guru  Hadi jam’iyyah Hadrah dan Sama sama berazaskan Islam Ahlussunnah wal Jama’ah.
Disaat dalam posisi yang tidak menguntungkan ini, serta dengan adanya keinginan melestarikan dan mengkukuhkan Organisasi ISHARI agar tidak lenyap dan terombang ambing maka Pimpinan Wilayah ISHARI Jawa Timur berinsiatif mendaftarkan Jam’iyyah ini ke kementerian Hukum dan Ham dan Al Hamdulillah telah diterbitkan badan Hukum akta Pendirian Organisasi dengan Nomor ANU 138.AN.01.07 Tahun 2012 tertanggal 27 Juli 2012.
Mencermati sejarah perjalanan ISHARI ini, serta eksistensinya yang hanya ada di Wilayah Jawa Timur maka dengan demikian Musyawarah. kali ini adalah forum tertinggi ISHARI. dan dalam rangka merespon berbagai perkembangan dan aspirasi dari cabang cabang serta dalam rangka memperkuat tata laksana organisasi dipandang perlu bahkan wajib membuat Aturan – aturan baru sebagai pijakan dalam melaksanakan program ISHARI kedepan agar lebih baik, mandiri dan bermartabat. Dengan lebih memperkuat tradisi kultur dalam bingkai struktur organisasi ISHARI ini
Dan selanjutnya melalui penelitian yang cermat serta pemikiran yang bijak dan dilaksanakan melalui permusyawaratan maka dihasilkan rumusan PD/PRT ISHARI dan TATA LAKSANA KERJA serta sistem administrasi ISHARI Jawa Timur


di copas oleh :